Jumat, 25 November 2011

Koperasi sebagai soko guru perekonomian Indonesia

Koperasi sebagai soko guru perekonomian Indonesia

BAB I

Pendahuluan

Salah satu gagasan ekonomi yang dalam waktu belakangan ini cukup banyak mengundang perhatian adalah mengenai “ekonomi kerakyatan”. Ditengah-tengah himpitan krisis ekonomi yang sedang melanda Indonesia, serta maraknya perbincangan mengenai globalisasi dan globalisme dalam pentas wacana ekonomi-politik dunia, kehadiran ekonomi kerakyatan dalam pentas wacana ekonomi politik Indonesia memang terasa cukup menyegarkan. Akibatnya, walaupun penggunaan ungkapan tersebut, dalam kenyataan sehari-hari cenderung tumpang-tindih dengan ungkapan ekonomi kerakyatan, ekonomi kerakyatan cenderung dipandang seolah-olah merupakan gagasan baru dalam pentas ekonomi-politik ekonomi Indonesia.

Kesimpulan seperti itu tentu tidak dapat dibenarkan. Sebab, bila ditelusuri ke belakang, dengan mudah dapat diketahui bahwa perbincangan mengenai ekonomi kerakyatan sesungguhnya telah berlangsung jauh sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaan.

Menurut Undang Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, dikatakan bahwa KOPERASI adalah badan usaha yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum Koperasi dengan berlandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.

Sementara itu dalam Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum diamandemen) kata KOPERASI ini disebut dan dicantumkan dalam penjelasan pasal 33. Namun setelah di amandemen, penjelasan atas pasal-pasal dari UUD 1945 dimasukkan dalam batang tubuh.

Nampaknya para penyusun UU No. 22 Tahun 1992 itu (Presiden dan DPR) sudah lupa bahwa para founding father kita bercita-cita untuk menjadikan KOPERASI sebagai sokoguru perekonomian Indonesia. KOPERASI dianggap sebagai badan usaha yang terlalu banyak merepoti pemerintah. Karena banyak kredit program yang diterima KOPERASI (utamanya KUD) raib diselewengkan pengelolanya.

Namun kenyataan di lapangan, berbicara lain. Saat Indonesia mengalami krisis berkepanjangan, justru eksistensi KOPERASI nampak nyata. Saat hampir semua bank-bank besar macam BCA, Bank Lippo (bank swasta) , maupun bank pemerintah: Bank Bumi Daya, Bank Bapindo dan Bank Dagang Negara (yang kemudian ketiga bank terakhir dilebur menjadi Bank Mandiri) dan banyak bank lain pada colaps, KOPERASI masih bisa menjadi tumpuan anggota dan masyarakatnya dalam hal melayani keperluan modal.

Tak bisa dibayangkan, manakala saat itu, selain bank, KOPERASI juga ikut colaps, pasti akan semakin banyak jumlah angkatan kerja yang mengalami PHK.

Meskipun demikian, sampai sekarang, di mata perbankan, posisi tawar KOPERASI masih dipandang sebelah mata. Untuk bisa memperoleh kredit, di banyak bank, perlu KOPERASI melengkapi banyak persyaratan yang sering merepotkan. Memang banyak KOPERASI yang nakal. Tapi masih lebih banyak KOPERASI yang baik.

KOPERASI dalam praktek, ada bedanya. KOPERASI (yang sejati) dibentuk dari, oleh dan untuk memenuhi kebutuhan anggota. Sementara koperasi dibentuk seorang pemodal yang ingin memutar uangnya di koperasi. Hal ini dimungkinkan, karena untuk membentuk koperasi, pasca reformasi, sangatlah mudah.

Dulu, badan hukum KOPERASI harus disahkan oleh Kantor Wilayah Koperasi Propinsi Jawa Timur, selaku wakil dari Pemerintah. Sekarang, cukup disahkan oleh Dinas Koperasi Kabupaten/Kota saja.

Sejatinya, KOPERASI dibentuk demi untuk kesejahteraan anggotanya. Sementara koperasi dibentuk demi keuntungan pemodal semata. Ibaratnya PT berbaju koperasi. Bahkan, tak jarang, mereka (para pemodal) itu rela membeli badan hukum KOPERASI yang sudah tidak aktif lagi dengan nilai tak kurang dari puluhan juta rupiah.

Jadi, ketika UUD 1945 sudah menganggap tidak perlu untuk mencantumkan lagi kata KOPERASI, ketika perbankan masih memandang KOPERASI dengan sebelah mata, ketika banyak PT yang beroperasi dengan kedok koperasi, MASIHKAH KOPERASI DIANGGAP SEBAGAI SOKOGURU PEREKONOMIAN INDONESIA?


BAB II

PEMBAHASAN

Koperasi Sebagai Soko Guru Perekonomian Indonesia

Keberadaan koperasi di Indonesia hingga saat ini masih ditanggapi dengan pola pikir yang sangat beragam, sebagai suatu perangkat sistem kelembagaan yang menjadi landasan perekonomian kita, koperasi akan selalu berkembang dinamis mengikuti berbagai perubahan lingkungan. Dinamika itulah yang mengundang lahirnya beraneka pola tersebut. Gejala seperti itu justru sangat positif bagi proses pendewasaan koperasi.

Jika kita kembali kepada pengertian koperasi itu sendiri, yaitu lembaga ekonomi berwatak sosial, dalam lingkup pengertian seperti itu, banyak pihak yang menafsirkan koperasi Indonesia hanya semata-mata sebagai suatu lembaga dalam arti yang begitu sempit, yaitu organisasi atau lembaga atau badan hukum yang menjalankan aktifitas ekonomi dengan tujuan peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.

Padahal menurut pasal 33 UUD 1945, koperasi ditetapkan sebagai bangun usaha yang sesuai dalam tata ekonomi kita berlandaskan demokrasi ekonomi. Oleh karena itu, seharusnya koperasi perlu dipahami secara lebih luas, yaitu sebagai suatu kelembagaan yang mengatur tata ekonomi kita berlandaskan jiwa dan semangat kebersamaan dan kekeluargaan.

Dengan pemahaman demikian, jelaslah bahwa dalam demokrasi ekonomi jiwa dan semangat kebersamaan dan kekeluargaan juga harus dikembangkan dalam wadah ekonomi lain, seperti BUMN dan swasta, sehingga ketiga wadah pelaku ekonomi tersebut dijamin keberadaannya dan memiliki hak hidup yang sama dinegeri ini.

Selanjutnya timbul pertanyaan bagaimana sebenarnya upaya kita menterjemahkan pengertian koperasi ke dalam konsep sokoguru perekonomian kita? Jawaban sementara dapat diketengahkan sebagai berikut, “jika kita ingin membangun pengertian dalam lingkup konsep sokoguru perekonomian nasional kita,

Maka intinya adalah bagaimana mengupayakan agar jiwa dan semangat kebersamaan dan kekeluargaan tersebut secara substantif berada dan mewarnai kehidupan dari ketiga wadah pelaku ekonomi.” Jadi membangun sokoguru perekonomian nasional berarti membangun badan usaha koperasi yang tangguh, menumbuhkan badan usaha swasta yang kuat dan mengembangkan BUMN yang mantap secara simultan dan terpadu dengan bertumpu pada Trilogi Pembangunan untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat banyak.

Karena pemahaman dan pemikiran terhadap koperasi dalam arti yang luas dan mendasar seperti dimaksudkan dalam pasal 33 UUD 1945 beserta penjelasannya, memang sangat diperlukan. Apalagi, dalam menghadapi berbagai perubahan dan tantangan pembangunan kita di masa yang akan datang. Seperti telah kita sadari bersama bahwa dalam era tinggal landas nanti, untuk mewujudkan perekonomian yang berlandaskan Trilogi Pembangunan setidak-tidaknya terdapat tiga tantangan besar yang perlu diantisipasi oleh ketiga wadah pelaku ekonomi, yaitu; 1. Mempertahankan pertumbuhan ekonomi dalam situasi proses globalisasi ekonomi yang makin meluas. 2. Mempercepat pemerataan yang makin mendesak mengingat 36,2 juta rakyat masih berada di bawah garis kemiskinan. 3. Memelihara kesinambungan kegiatan pembangunan yang stabil dan dinamis dalam rangka mengantisipasi kemungkinan adanya berbagai kendala yang menghambat upaya kita menjawab kedua tantangan di atas. Untuk menjawab dengan tepat tantangan tersebut di atas, diperlukan komitmen dan tanggung jawab yang besar dari ketiga wadah pelaku ekonomi tersebut.

Konkritnya adalah peningkatan dan pematangan integrasi ketiga wadah pelaku ekonomi, yang dilandaskan atas jiwa dan semangat kekeluargaan dan kebersamaan. Proses integrasi tersebut adalah proses hubungan keterkaitan integratif yang telah dan sedang dilaksanakan untuk mengembangkan ketiga wadah pelaku ekonomi tersebut sesuai dengan fungsinya masing-masing. Peningkatan dan pemantapan proses integrasi tersebut mutlak harus dilaksanakan untuk menjawab tantangan pembangunan di masa yang akan datang.

Sehubungan dengan masalah mendasar tersebut, adalah menarik untuk dikaji pemikiran beberapa pakar yang mengatakan bahwa dalam tata perekonomian kita yang didasarkan pada Demokrasi Ekonomi, ketiga wadah pelaku ekonomi memang mempunyai komitmen dan tanggungjawab yang sama terhadap terwujudnya Trilogi Pembangunan.

Namun demikian sesungguhnya terdapat pembagian kerja bagi masing-masing wadah pelaku ekonomi tersebut. Pembagian kerja tersebut merupakan konsekuensi akibat perbedaan ciri-ciri organisasi masing-masing wadah pelaku ekonomi tersebut. Hal ini terutama berkaitan dengan tingkat efisiensi masing-masing wadah pelaku ekonomi tersebut dalam mencapai salah satu unsur dari Trilogi Pembangunan.

Dilihat dari tingkat efisiensi, masing-masing wadah pelaku ekonomi tersebut mempunyai keunggulan komparatif sendiri-sendiri dalam mewujudkan perekonomian nasional yang berlandaskan Trilogi Pembangunan. Melalui pemikiran tersebut di atas, dapat dirumuskan suatu pola pembagian kerja di antara ketiga wadah pelaku ekonomi tersebut, bukan dalam bentuk gagasan pengkaplingan bidang usaha, melainkan dalam pembagian kerja secara fungsional yang berlandaskan pada Trilogi Pembangunan.

Koperasi dengan sifat-sifat khas berdasarkan prinsip kelembagaannya, nampak lebih efisien untuk melaksanakan secara langsung tugas pokoknya di bidang pemerataan. Tentu saja hal ini dilakukan dengan tidak mengabaikan tanggungjawab dan tugasnya di bidang pertumbuhan dan stabilitas. Pemikiran tentang tugas pokok koperasi seperti diuraikan oleh para pakar tersebut, memang dapat merupakan rasionalisasi dari tugas koperasi yang telah secara tegas tercantum dalam arah pembangunan jangka panjang [GBHN], yaitu sebagai wadah untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan yang lebih besar bagi golongan ekonomi lemah agar mereka dapat ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan dan sekaligus dapat ikut menikmati hasil-hasilnya.

Koperasi merupakan kunci utama dalam upaya mengentaskan anggota masyarakat kita dari kemiskinan. Dengan tugas fungsional koperasi seperti itu, diharapkan akan lebih efisien apabila fungsinya diarahkan untuk tugas pokok memobilisasikan sumberdaya dan potensi pertumbuhan yang ada, tanpa harus mengabaikan fungsinya dalam mengembangkan tugas stabilitas dan pemerataan. Sedangkan BUMN, sebagai satu wadah pelaku ekonomi yang dimiliki oleh pemerintah, mempunyai kelebihan potensi yaitu lebih efisien dalam tugas pokoknya melaksanakan stabilitas, sekaligus berfungsi merintis pertumbuhan dan pemerataan. Apabila kita dapat mengikuti pemikiran para pakar seperti diuraikan di atas, maka akan lebih memperkuat alasan bahwa untuk menghadapi tantangan-tantangan di masa mendatang, masing- masing wadah pelaku ekonomi seharusnya tidak dibiarkan tumbuh dan berkembang sendiri-sendiri.

Ketiga wadah pelaku ekonomi tadi justru harus berkembang dan saling terkait satu sama lain secara integratif. Tanpa keterkaitan integratif seperti itu, perekonominan nasional kita tidak akan mencapai produktivitas dan efisiensi nasional yang tinggi. Di samping itu kita akan selalu menghadapi munculnya kesenjangan antara tingkat pertumbuhan dan tingkat pemerataan yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat stabilitas nasional. Hal ini disebabkan swasta dan BUMN, sesuai dengan ciri organisasi dan tugasnya, memiliki peluang yang lebih besar untuk tumbuh dan berkembang secara lebih cepat. Sedangkan koperasi, sesuai dengan ciri-ciri dan tugasnya yang berorintasi pada upaya peningkatan pendapatan masyarakat golongan ekonomi lemah, tumbuh dan berkembang lebih lamban dibanding dengan kedua wadah pelaku ekonomi.

Oleh karena itu, harus diusahakan agar tingkat pertumbuhan koperasi dapat sejajar dan selaras dengan tingkat pertumbuhan pihak swasta dan BUMN sehingga tercapai pertumbuhan yang merata. Untuk itu tidak dapat dihindarkan bahwa tingkat perkembangan koperasi pada umumnya harus secara aktif dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi pada wadah pelaku ekonomi swasta dan BUMN.

Sebaliknya pihak swasta dan BUMN dalam pertumbuhannya mempunyai kewajiban untuk membantu koperasi dengan memberikan peluang dan dorongan melalui proses belajar yang efektif. Tentu saja bantuan tersebut tanpa harus mengganggu prestasi dan gerak pertumbuhan swasta dan BUMN itu sendiri.

Dengan demikian koperasi, dalam proses perkembangannya, akan lebih terdorong untuk berkembang lebih cepat dalam melaksanakan tugas pokoknya sebagai wadah pemerataan dan mampu mempertahankan perkembangannya, sehingga tidak menjadi beban bagi swasta dan BUMN. Kondisi semacam itu merupakan wujud nyata gambaran pelaksanaan jiwa dan semangat kebersamaan dan kekeluargaan dalam tata perekonomian nasional kita.

Dalam hubungan itu tepat apa yang dijabarkan ISEI dalam naskah penjabaran Demokrasi Ekonomi, bahwa wadah pelaku ekonomi yang kuat tidak dihalangi dalam upayanya memperoleh kemajuan dan perkembangan. Mereka justru berkewajiban membantu perkembangan wadah pelaku ekonomi lainnya yang lebih lemah. Sebaliknya pelaku ekonomi yang lemah perlu dibantu dan diberi dorongan agar dapat lebih maju.

Dengan demikian semua pelaku ekonomi dapat tumbuh dan berkembang bersama-sama sesuai dengan fungsinya. Selanjutnya bentuk hubungan keterkaitan integratif tersebut dalam pelaksanaannya harus tetap dilandaskan dan mengacu pada prinsip-prinsip ekonomi yang rasional dalam mekanisme pasar yang sehat. Oleh karena itu keterkaitan integratif harus dilaksanakan tetap dalam kerangka hubungan yang saling memberi manfaat, baik manfaat ekonomi maupun manfaat sosial. Manfaat sosial di sini berarti bahwa secara langsung maupun tidak langsung, jangka pendek maupun jangka panjang, pasti akan memberikan manfaat ekonomi.

Secara lebih konkrit bentuk keterkaitan integratif dapat berupa tiga bentuk utama, yaitu: persaingan yang sehat, keterkaitan mitra-usaha dan keterkaitan kepemilikan. Dalam membahas keterkaitan integratif melalui persaingan yang sehat, bentuk keterkaitan tersebut dilaksanakan berdasarkan ketentuan adanya kesepakatan untuk bersaing dengan masing-masing mendapatkan keuntungan yang wajar tanpa harus saling merugikan.

Hal itu dapat diwujudkan, baik melalui peningkatan efisiensi masing-masing pihak dalam mengelola sumber daya yang dimiliki secara optimal, maupun melalui pemanfaatan peranan salah satu wadah pelaku ekonomi sebagai pengimbang bagi pelaku ekonomi lain dalam pelaksanaan kegiatan usaha pada bidang tertentu. Semua langkah tersebut diorientasikan pada upaya untuk selalu mengefisienkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia dengan tetap menerima kondisi keterkaitan satu sama lain dalam sistem perekonomian nasional.

Salah satu contoh keterkaitan integratif seperti diuraikan di atas dalam bentuk yang mungkin masih terus disempurnakan, diantaranya adalah tata niaga pangan, khususnya padi dan palawija. Dalam tata niaga pangan tersebut, telah dapat diwujudkan suatu bentuk keterkaitan antara BUMN, koperasi dan swasta, baik sebagai produsen maupun konsumen yang masing-masing dapat menjalakan tugas pokoknya dan mendapatkan keuntungan serta manfaat yang wajar sehingga mereka dapat lebih tumbuh bersama secara merata dan saling tergantung satu sama lain.

Selanjutnya bentuk keterkaitan integratif lainnya dapat bersifat komplementer atau substitusi pada suatu bidang usaha tertentu. Keterkaitan komplementer diartikan bahwa setiap wadah pelaku ekonomi yang masih lemah di bidang tertentu, dapat dibantu dan diperkuat oleh wadah pelaku ekonomi lainnya yang mampu di bidang itu, sehingga secara bertahap yang lemah tadi menjadi kuat. Dalam hubungan itu masing-masing wadah pelaku ekonomi yang terlibat dalam hubungan tersebut haruslah berada dalam posisi dan kedudukan yang setaraf.

Dengan demikian nilai tambah yang dihasilkan dapat dibagi secara proporsional atau seimbang, sesuai dengan prestasi masing-masing wadah pelaku ekonomi. Bentuk keterkaitan Bapak–Anak angkat, Pola PIR, adalah beberapa contoh bentuk keterkaitan komplementer seperti diuraikan di atas.

Dalam kerangka keterkaitan substitusi tersebut apabila salah satu wadah pelaku ekonomi, karena satu dan lain hal, tidak mampu melakukan misi dan peranannya maka untuk sementara peranan tersebut dapat digantikan oleh wadah pelaku ekonomi lainnya yang lebih mampu. Dalam kaitan itu, bentuk substitusi ini dapat dilakukan baik oleh BUMN maupun swasta besar untuk membantu wadah pelaku ekonomi lain yang masih lemah, baik yang tergabung dalam bentuk swasta maupun koperasi.

Selanjutnya pada saat tertentu, jika kondisinya telah memungkinkan, BUMN dan swasta dapat secara bertahap menyerahkan kembali kepemilikan dan pengelolaan usaha itu kepada salah satu wadah pelaku ekonomi yang lemah tadi sesuai dengan bidang usaha yang dikembangkannya. Apabila kegiatan usaha tersebut menyangkut pemerataan, pemilikan dan pengelolaan usaha tersebut diserahkan kepada koperasi.

Sedangkan kegiatan usaha yang menyangkut bidang pertumbuhan ekonomi dapat diserahkan pada sektor swasta. Sebagai contoh yang aktual, bentuk keterkaitan substitusi adalah Tata Niaga Cengkeh. Karena koperasi belum mampu melaksanakannya sendiri, tugas tersebut dilaksanakan oleh swasta yaitu BPPC.

Selanjutnya secara bertahap sesuai dengan kemampuan koperasi, tugas tersebut diserahkan secara penuh kepada koperasi. Ketiga bentuk keterkaitan tersebut di atas, suatu saat akan sampai pada posisi yang lebih terintegrasi secara total, dalam bentuk keterkaitan kepemilikan. Melalui bentuk keterkaitan tersebut, secara bertahap koperasi dapat memilki saham perusahaan, baik koperasi itu sendiri memilki keterkaitan usaha secara langsung maupun tidak langsung dengan perusahaan dimaksud.

Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa integrasi ketiga wadah pelaku ekonomi tersebut yang telah mulai dilaksanakan pada PJPT–I ini harus terus ditekankan dan dimantapkan sebagai wadah dasar guna menggerakkan upaya mewujudkan Trilogi Pembangunan: pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas yang secara selaras, terpadu, saling memperkuat serta mendukung sesuai dengan keunggulan komparatif masing-masing wadah pelaku ekonomi tersebut di masa mendatang.

Dari keseluruhan pola pikir seperti diuraikan tersebut di atas, maka jelaslah bahwa dalam tatanan perekonomian nasional, koperasi Indonesia pada dasarnya mempunyai fungsi yang sarat dengan misi pembangunan, terutama terwujudnya pemerataan.

Koperasi Indonesia merupakan bagian integral dari sistem pembangunan nasional kita. Peranan itu memang susuai dengan ketetapan mengenai fungsi koperasi sebagaimana tercantum dalam Undang-undang nomor 12 tahun 1967 tentang pokok-pokok Perkoperasian yang menegaskan bahwa koperasi sebagai alat perjuangan ekonomi guna mempertinggi kesejahteraan rakyat banyak.

Dari kerangka pendekatan dan pemikiran yang bersifat integral di atas, maka jelaslah bahwa koperasi Indonesia adalah suatu badan usaha yang seharusnya dapat bergerak di bidang usaha apa saja sepanjang orientasinya adalah untuk meningkatkan usaha golongan ekonomi lemah. Koperasi ini pada gilirannya akan memberikan dampak berupa peningkatan kesejahteraan mereka.

Orientasi usaha seperti itulah yang merupakan salah satu ciri sosial dari koperasi yang membedakannya dengan badan usaha lainnya. Dalam hubungan ini perlu juga adanya kejelasan terhadap pendapat bahwa karena koperasi harus melayani yang lemah dan kecil, maka usaha koperasi tidak dapat menjadi besar.

Pendapat demikian ini adalah keliru, karena justru untuk memperoleh kelayakan usahanya, setiap koperasi harus didorong dan dikembangkan menjadi besar dengan menghimpun kekuatan ekonomi dari mereka yang lemah dan kecil-kecil. Memang perlu ditegaskan bahwa besarnya usaha koperasi seperti di atas bukanlah tujuan, tetapi hanya merupakan dampak dari suatu upaya untuk dapat mengembangkan dirinya secara efektif dan efisien.

Tolak ukur perkembangan koperasi Indonesia bukan saja besar atau kecilnya volume usaha atau sumbangannya dalam pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, kurang relevan kalau mengukur keberhasilan koperasi dengan ukuran keberhasilan BUMN atau swasta.

Yang menjadi ukuran koperasi Indonesia adalah sejauh mana usaha koperasi itu terkait dengan usaha anggotanya terutama golongan ekonomi lemah, dan pada gilirannya dapat menghasilkan manfaat sebesar-besarnya dalam proses peningkatan kesejahteraan mereka.

Dengan perkataan lain yang diukur adalah sumbangannya secara langsung dalam proses melaksanakan fungsi pemerataan. Dengan cara pandang demikian koperasi yang memiliki usaha kecil, namun terkait dengan kegiatan usaha para anggotanya akan memiliki bobot kualitas yang lebih tinggi dibanding dengan koperasi yang memiliki usaha besar tetapi tidak terkait dengan kegiatan usaha atau kepentingan para enggotanya.

Dalam hubungan itu tepatlah apa yang dikatakan mantan Presiden Soeharto bahwa, “masih ada yang berpendapat bahwa koperasi tertinggal jauh dibandingkan BUMN dan perusahaan swasta, karena tidak ada koperasi yang memiliki bangunan megah atau usaha berskala besar. Padahal tujuan koperasi bukanlah untuk mendirikan usaha besar serta gedung mewah. Tetapi yang jelas tugas utama koperasi adalah tetap berusaha meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran anggotanya.”

Selanjutnya dalam rangka mengukur keberhasilan pembangunan koperasi juga terdapat pandangan yang kurang tepat apabila dilakukan dengan membandingkan kelambanan proses perkembangan koperasi di Indonesia dengan kecepatan kemajuan koperasi di negara-negara lain, terutama negara-negara maju. Hal ini disebabkan karena koperasi yang sudah pesat kemajuannya di negara lain pada umumnya telah berkembang rata-rata lebih dari 50 tahun.

Sedangkan di Indonesia perkembangan koperasi mulai dibangun secara konseptual dan intensif sejak Pelita II. Di samping itu di negara yang koperasinya sudah maju, pada awal perkembangannya, koperasi tidaklah diberi peran formal untuk mengatasi kemiskinan. Kalau toh ada golongan ekonomi lemah pada saat itu maka jelas golongan tersebut kondisinya jauh lebih baik dibanding dengan kondisi golongan ekonomi lemah di Indonesia.

Dengan posisi seperti itu adalah hal wajar apabila koperasi Indonesia tumbuh lebih lamban, karena membangun koperasi Indonesia tidak mudah dan sederhana mengingat umumnya koperasi dibentuk oleh mereka yang bermodal kecil, berketerampilan sederhana dan tidak memiliki pengetahuan manajemen yang memadai.

Setelah diketahui dengan jelas fungsi koperasi di Indonesia, maka permasalahan selanjutnya adalah bagaimana strategi pembangunannya. Seperti telah kita ketahui bersama bahwa masalah utama dalam pengembangan koperasi Indonesia adalah belum tersedianya jaminan pasar, kelemahan manajemen dan keterbatasan modal.

Masalah seperti itu perlu segera diatasi dengan strategi pembinaan yang tepat dan efektif, serta tetap mengacu pada strategi pembangunan nasional kita seperti yang telah diuraikan di atas, yaitu strategi keterkaitan integratif. Strategi itu telah mulai dilaksanakan sejak Pelita II yang lalu, dengan upaya mengembangkan koperasi Indonesia di pedesaan yang kita kenal dengan Koperasi Unit Desa [KUD]. Strategi itu telah berhasil tidak saja mengembangkan KUD-KUD yang sebagian besar telah mandiri, namun juga sekaligus mampu mengembangkan mitra usahanya baik swasta maupun BUMN.

Namun demikian harus diakui bahwa keberhasilan tersebut belum lagi optimal. Koperasi Indonesia belum lagi dapat berfungsi secara efektif terutama dalam rangka mengangkat rakyat kita yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Itu merupakan tantangan besar bagi koperasi Indonesia. Untuk itu strategi keterkaitan integratif tersebut harus lebih digalakkan dan dimantapkan dalam pelaksanaannya di masa mendatang.

Selanjutnya suatu aspek lain yang perlu kita bahas adalah agar proses hasil keterkaitan integratif itu dapat optimal dan efisien, seyogyanya ketiga wadah pelaku ekonomi tidak berupaya untuk mengembangkan dirinya menjadi organisasi yang eksklusif. Dalam hubungan ini koperasi Indonesia juga harus lebih terbuka karena sikap eksklusifnya hanya akan semakin memperlemah posisinya.

Melalui keterbukaan tersebut, semua aset nasional akan dapat dimanfaatkan untuk menjadi faktor pendorong dalam mempercepat perkembangan koperasi Indonesia, tanpa harus kehilangan asas sendi-sendi dasarnya. Untuk itu, di samping terus mengembangkan kekuatan jaringan koperasi sendiri, seharusnya yang lebih penting adalah menyempurnakan kebijaksanaan dan strategi pembangunan koperasi Indonesia sebagai suatu sistem yang lebih terpadu.

Melalui sistem tersebut, di samping akan dapat dimanfaatkan instansi pembina koperasi terkait juga akan dapat dimanfaatkan oleh pihak lain yang berkepentingan, terutama kedua wadah pelaku ekonomi lainnya untuk membantu bekerjasama dalam membangun koperasi berdasar kerangka hubungan keterkaitan integratif seperti diuraikan di atas.

Sebagai contoh aktual, misalanya pengembangan aspek permodalan koperasi. Untuk mengatasi keterbatasan permodalan yang dimiliki koperasi, di samping mengembangkan lembaga keuangan [bank maupun lembaga keuangan bukan bank] milik koperasi sendiri, koperasi Indonesia harus dapat mengembangkan suatu sistem permodalan koperasi Indonesia yang dapat dimanfaatkan oleh lembaga keuangan non-koperasi untuk membantu mengatasi kebutuhan permodalan koperasi tersebut.

Ketentuan dan kebijaksanaan Pakjan 29/1990 misalanya adalah salah satu bentuk kongkrit dari sistem permodalan koperasi. Melalui ketentuan itu semua lembaga keuangan bank milik pemerintah, swasta maupun koperasi dapat bersama-sama berkiprah untuk mengatasi dan membangun permodalan koperasi yang kokoh dan kuat.

Selanjutanya dalam rangka menyempurnakan kebijaksanaan strategis pembangunan koperasi Indonesia tersebut di atas, ketentuan-ketentuan yang ada dan tidak relevan perlu ditinjau kembali dengan pengertian untuk mempercepat peningkatan kwalitasa internal organisasi koperasi agar benar-benar dapat menjadi lembaga usaha yang efisien dan mandiri.

Melalui langkah itu, diharapkan koperasi Indonesia akan mampu memanfaatkan peluang yang dihadapi dalam kegiatan usahanya sendiri, dan selanjutnya mampu mengembangkan hubungan keterkaitan integratif dengan dua wadah pelaku ekonomi lainnya.

Sejarah mencatat bahwa citra koperasi pernah merosot hingga titik terendah pada masa lalu. Hal itu disebabkan karena terjadinya praktek-praktek berkoperasi yang sudah jauh menyimpang dari prinsip dan sendi dasar koperasi sendiri. Akibatnya, saat itu rakyat telah kehilangan kepercayaan terhadap koperasi. Sekiranya dibiarkan, akan diperlukan waktu yang relative sangat lama untuk menumbuhkan kembali kepercayaan rakyat itu.

Oleh sebab itu pemerintah berkewajiban untuk membantu upaya membangun kembali citra koperasi. Yang terpenting untuk diketahui adalah bahwa keterlibatan pemerintah itu bukanlah keterlibatan permanen, tetapi hanya bersifat sementara.

Berdasar hal itu kebijakan pemerintah untuk membina koperasi Indonesia, khususnya koperasi pedesaan, adalah dengan menerapkan strategi tiga tahap pembangunan: tahap ofisialisasi, tahap deofisialisasi dan tahap otonomi.

Pada tahap ofisialisasi, pemerintah secara sadar mengambil peran besar untuk mendorong dan mengembangkan prakarsa dalam proses pembentukan koperasi. Lalu, membimbing pertumbuhannya serta menyediakan berbagai fasilitas yang diperlukan.

Sasarannya adalah agar koperasi dapat hadir dan memberikan manfaat dalam pembinaan perekonomian rakyat, yang pada gilirannya diharapkan akan menumbuhkan kembali kepercayaan rakyat sehingga mendorong motivasi mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan koperasi tersebut.

Tahap deofisialisasi ditandai dengan semakin berkurangnya peran pemerintah. Diharapkan pada saat bersamaan partisipasi rakyat dalam koperasi telah mampu menumbuhkan kekuatan intern organisasi koperasi dan mereka secara bersama telah mulai mampu mengambil keputusan secara lebih mandiri. Tahap ketiga adalah otonomi. Tahap ini terlaksana apabila peran pemerintah sudah bersifat proporsional. Artinya, koperasi sudah mampu mencapai tahap kedudukan otonomi, berswadaya atau mandiri.

Tahapan tersebut di atas telah dilaksanakan secara konsisten sejak Pelita II, di mana pemerintah pertama-tama memprakarsai untuk menyusun konsep kelembagaan koperasi pedesaan.

BAB III

KESIMPULAN

Menurut pasal 33 UUD 1945, koperasi ditetapkan sebagai bangun usaha yang sesuai dalam tata ekonomi kita berlandaskan demokrasi ekonomi. Oleh karena itu, seharusnya koperasi perlu dipahami secara lebih luas, yaitu sebagai suatu kelembagaan yang mengatur tata ekonomi kita berlandaskan jiwa dan semangat kebersamaan dan kekeluargaan.

Dalam tatanan perekonomian nasional, koperasi Indonesia pada dasarnya mempunyai fungsi yang sarat dengan misi pembangunan, terutama terwujudnya pemerataan. Koperasi Indonesia merupakan bagian integral dari sistem pembangunan nasional

Dari kerangka pendekatan dan pemikiran yang bersifat integral di atas, maka jelaslah bahwa koperasi Indonesia adalah suatu badan usaha yang seharusnya dapat bergerak di bidang usaha apa saja sepanjang orientasinya adalah untuk meningkatkan usaha golongan ekonomi lemah

Yang menjadi ukuran koperasi Indonesia adalah sejauh mana usaha koperasi itu terkait dengan usaha anggotanya terutama golongan ekonomi lemah, dan pada gilirannya dapat menghasilkan manfaat sebesar-besarnya dalam proses peningkatan kesejahteraan mereka. Dengan perkataan lain yang diukur adalah sumbangannya secara langsung dalam proses melaksanakan fungsi pemerataan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar