Jumat, 25 November 2011

Koperasi sebagai soko guru perekonomian Indonesia

Koperasi sebagai soko guru perekonomian Indonesia

BAB I

Pendahuluan

Salah satu gagasan ekonomi yang dalam waktu belakangan ini cukup banyak mengundang perhatian adalah mengenai “ekonomi kerakyatan”. Ditengah-tengah himpitan krisis ekonomi yang sedang melanda Indonesia, serta maraknya perbincangan mengenai globalisasi dan globalisme dalam pentas wacana ekonomi-politik dunia, kehadiran ekonomi kerakyatan dalam pentas wacana ekonomi politik Indonesia memang terasa cukup menyegarkan. Akibatnya, walaupun penggunaan ungkapan tersebut, dalam kenyataan sehari-hari cenderung tumpang-tindih dengan ungkapan ekonomi kerakyatan, ekonomi kerakyatan cenderung dipandang seolah-olah merupakan gagasan baru dalam pentas ekonomi-politik ekonomi Indonesia.

Kesimpulan seperti itu tentu tidak dapat dibenarkan. Sebab, bila ditelusuri ke belakang, dengan mudah dapat diketahui bahwa perbincangan mengenai ekonomi kerakyatan sesungguhnya telah berlangsung jauh sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaan.

Menurut Undang Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, dikatakan bahwa KOPERASI adalah badan usaha yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum Koperasi dengan berlandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.

Sementara itu dalam Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum diamandemen) kata KOPERASI ini disebut dan dicantumkan dalam penjelasan pasal 33. Namun setelah di amandemen, penjelasan atas pasal-pasal dari UUD 1945 dimasukkan dalam batang tubuh.

Nampaknya para penyusun UU No. 22 Tahun 1992 itu (Presiden dan DPR) sudah lupa bahwa para founding father kita bercita-cita untuk menjadikan KOPERASI sebagai sokoguru perekonomian Indonesia. KOPERASI dianggap sebagai badan usaha yang terlalu banyak merepoti pemerintah. Karena banyak kredit program yang diterima KOPERASI (utamanya KUD) raib diselewengkan pengelolanya.

Namun kenyataan di lapangan, berbicara lain. Saat Indonesia mengalami krisis berkepanjangan, justru eksistensi KOPERASI nampak nyata. Saat hampir semua bank-bank besar macam BCA, Bank Lippo (bank swasta) , maupun bank pemerintah: Bank Bumi Daya, Bank Bapindo dan Bank Dagang Negara (yang kemudian ketiga bank terakhir dilebur menjadi Bank Mandiri) dan banyak bank lain pada colaps, KOPERASI masih bisa menjadi tumpuan anggota dan masyarakatnya dalam hal melayani keperluan modal.

Tak bisa dibayangkan, manakala saat itu, selain bank, KOPERASI juga ikut colaps, pasti akan semakin banyak jumlah angkatan kerja yang mengalami PHK.

Meskipun demikian, sampai sekarang, di mata perbankan, posisi tawar KOPERASI masih dipandang sebelah mata. Untuk bisa memperoleh kredit, di banyak bank, perlu KOPERASI melengkapi banyak persyaratan yang sering merepotkan. Memang banyak KOPERASI yang nakal. Tapi masih lebih banyak KOPERASI yang baik.

KOPERASI dalam praktek, ada bedanya. KOPERASI (yang sejati) dibentuk dari, oleh dan untuk memenuhi kebutuhan anggota. Sementara koperasi dibentuk seorang pemodal yang ingin memutar uangnya di koperasi. Hal ini dimungkinkan, karena untuk membentuk koperasi, pasca reformasi, sangatlah mudah.

Dulu, badan hukum KOPERASI harus disahkan oleh Kantor Wilayah Koperasi Propinsi Jawa Timur, selaku wakil dari Pemerintah. Sekarang, cukup disahkan oleh Dinas Koperasi Kabupaten/Kota saja.

Sejatinya, KOPERASI dibentuk demi untuk kesejahteraan anggotanya. Sementara koperasi dibentuk demi keuntungan pemodal semata. Ibaratnya PT berbaju koperasi. Bahkan, tak jarang, mereka (para pemodal) itu rela membeli badan hukum KOPERASI yang sudah tidak aktif lagi dengan nilai tak kurang dari puluhan juta rupiah.

Jadi, ketika UUD 1945 sudah menganggap tidak perlu untuk mencantumkan lagi kata KOPERASI, ketika perbankan masih memandang KOPERASI dengan sebelah mata, ketika banyak PT yang beroperasi dengan kedok koperasi, MASIHKAH KOPERASI DIANGGAP SEBAGAI SOKOGURU PEREKONOMIAN INDONESIA?


BAB II

PEMBAHASAN

Koperasi Sebagai Soko Guru Perekonomian Indonesia

Keberadaan koperasi di Indonesia hingga saat ini masih ditanggapi dengan pola pikir yang sangat beragam, sebagai suatu perangkat sistem kelembagaan yang menjadi landasan perekonomian kita, koperasi akan selalu berkembang dinamis mengikuti berbagai perubahan lingkungan. Dinamika itulah yang mengundang lahirnya beraneka pola tersebut. Gejala seperti itu justru sangat positif bagi proses pendewasaan koperasi.

Jika kita kembali kepada pengertian koperasi itu sendiri, yaitu lembaga ekonomi berwatak sosial, dalam lingkup pengertian seperti itu, banyak pihak yang menafsirkan koperasi Indonesia hanya semata-mata sebagai suatu lembaga dalam arti yang begitu sempit, yaitu organisasi atau lembaga atau badan hukum yang menjalankan aktifitas ekonomi dengan tujuan peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.

Padahal menurut pasal 33 UUD 1945, koperasi ditetapkan sebagai bangun usaha yang sesuai dalam tata ekonomi kita berlandaskan demokrasi ekonomi. Oleh karena itu, seharusnya koperasi perlu dipahami secara lebih luas, yaitu sebagai suatu kelembagaan yang mengatur tata ekonomi kita berlandaskan jiwa dan semangat kebersamaan dan kekeluargaan.

Dengan pemahaman demikian, jelaslah bahwa dalam demokrasi ekonomi jiwa dan semangat kebersamaan dan kekeluargaan juga harus dikembangkan dalam wadah ekonomi lain, seperti BUMN dan swasta, sehingga ketiga wadah pelaku ekonomi tersebut dijamin keberadaannya dan memiliki hak hidup yang sama dinegeri ini.

Selanjutnya timbul pertanyaan bagaimana sebenarnya upaya kita menterjemahkan pengertian koperasi ke dalam konsep sokoguru perekonomian kita? Jawaban sementara dapat diketengahkan sebagai berikut, “jika kita ingin membangun pengertian dalam lingkup konsep sokoguru perekonomian nasional kita,

Maka intinya adalah bagaimana mengupayakan agar jiwa dan semangat kebersamaan dan kekeluargaan tersebut secara substantif berada dan mewarnai kehidupan dari ketiga wadah pelaku ekonomi.” Jadi membangun sokoguru perekonomian nasional berarti membangun badan usaha koperasi yang tangguh, menumbuhkan badan usaha swasta yang kuat dan mengembangkan BUMN yang mantap secara simultan dan terpadu dengan bertumpu pada Trilogi Pembangunan untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat banyak.

Karena pemahaman dan pemikiran terhadap koperasi dalam arti yang luas dan mendasar seperti dimaksudkan dalam pasal 33 UUD 1945 beserta penjelasannya, memang sangat diperlukan. Apalagi, dalam menghadapi berbagai perubahan dan tantangan pembangunan kita di masa yang akan datang. Seperti telah kita sadari bersama bahwa dalam era tinggal landas nanti, untuk mewujudkan perekonomian yang berlandaskan Trilogi Pembangunan setidak-tidaknya terdapat tiga tantangan besar yang perlu diantisipasi oleh ketiga wadah pelaku ekonomi, yaitu; 1. Mempertahankan pertumbuhan ekonomi dalam situasi proses globalisasi ekonomi yang makin meluas. 2. Mempercepat pemerataan yang makin mendesak mengingat 36,2 juta rakyat masih berada di bawah garis kemiskinan. 3. Memelihara kesinambungan kegiatan pembangunan yang stabil dan dinamis dalam rangka mengantisipasi kemungkinan adanya berbagai kendala yang menghambat upaya kita menjawab kedua tantangan di atas. Untuk menjawab dengan tepat tantangan tersebut di atas, diperlukan komitmen dan tanggung jawab yang besar dari ketiga wadah pelaku ekonomi tersebut.

Konkritnya adalah peningkatan dan pematangan integrasi ketiga wadah pelaku ekonomi, yang dilandaskan atas jiwa dan semangat kekeluargaan dan kebersamaan. Proses integrasi tersebut adalah proses hubungan keterkaitan integratif yang telah dan sedang dilaksanakan untuk mengembangkan ketiga wadah pelaku ekonomi tersebut sesuai dengan fungsinya masing-masing. Peningkatan dan pemantapan proses integrasi tersebut mutlak harus dilaksanakan untuk menjawab tantangan pembangunan di masa yang akan datang.

Sehubungan dengan masalah mendasar tersebut, adalah menarik untuk dikaji pemikiran beberapa pakar yang mengatakan bahwa dalam tata perekonomian kita yang didasarkan pada Demokrasi Ekonomi, ketiga wadah pelaku ekonomi memang mempunyai komitmen dan tanggungjawab yang sama terhadap terwujudnya Trilogi Pembangunan.

Namun demikian sesungguhnya terdapat pembagian kerja bagi masing-masing wadah pelaku ekonomi tersebut. Pembagian kerja tersebut merupakan konsekuensi akibat perbedaan ciri-ciri organisasi masing-masing wadah pelaku ekonomi tersebut. Hal ini terutama berkaitan dengan tingkat efisiensi masing-masing wadah pelaku ekonomi tersebut dalam mencapai salah satu unsur dari Trilogi Pembangunan.

Dilihat dari tingkat efisiensi, masing-masing wadah pelaku ekonomi tersebut mempunyai keunggulan komparatif sendiri-sendiri dalam mewujudkan perekonomian nasional yang berlandaskan Trilogi Pembangunan. Melalui pemikiran tersebut di atas, dapat dirumuskan suatu pola pembagian kerja di antara ketiga wadah pelaku ekonomi tersebut, bukan dalam bentuk gagasan pengkaplingan bidang usaha, melainkan dalam pembagian kerja secara fungsional yang berlandaskan pada Trilogi Pembangunan.

Koperasi dengan sifat-sifat khas berdasarkan prinsip kelembagaannya, nampak lebih efisien untuk melaksanakan secara langsung tugas pokoknya di bidang pemerataan. Tentu saja hal ini dilakukan dengan tidak mengabaikan tanggungjawab dan tugasnya di bidang pertumbuhan dan stabilitas. Pemikiran tentang tugas pokok koperasi seperti diuraikan oleh para pakar tersebut, memang dapat merupakan rasionalisasi dari tugas koperasi yang telah secara tegas tercantum dalam arah pembangunan jangka panjang [GBHN], yaitu sebagai wadah untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan yang lebih besar bagi golongan ekonomi lemah agar mereka dapat ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan dan sekaligus dapat ikut menikmati hasil-hasilnya.

Koperasi merupakan kunci utama dalam upaya mengentaskan anggota masyarakat kita dari kemiskinan. Dengan tugas fungsional koperasi seperti itu, diharapkan akan lebih efisien apabila fungsinya diarahkan untuk tugas pokok memobilisasikan sumberdaya dan potensi pertumbuhan yang ada, tanpa harus mengabaikan fungsinya dalam mengembangkan tugas stabilitas dan pemerataan. Sedangkan BUMN, sebagai satu wadah pelaku ekonomi yang dimiliki oleh pemerintah, mempunyai kelebihan potensi yaitu lebih efisien dalam tugas pokoknya melaksanakan stabilitas, sekaligus berfungsi merintis pertumbuhan dan pemerataan. Apabila kita dapat mengikuti pemikiran para pakar seperti diuraikan di atas, maka akan lebih memperkuat alasan bahwa untuk menghadapi tantangan-tantangan di masa mendatang, masing- masing wadah pelaku ekonomi seharusnya tidak dibiarkan tumbuh dan berkembang sendiri-sendiri.

Ketiga wadah pelaku ekonomi tadi justru harus berkembang dan saling terkait satu sama lain secara integratif. Tanpa keterkaitan integratif seperti itu, perekonominan nasional kita tidak akan mencapai produktivitas dan efisiensi nasional yang tinggi. Di samping itu kita akan selalu menghadapi munculnya kesenjangan antara tingkat pertumbuhan dan tingkat pemerataan yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat stabilitas nasional. Hal ini disebabkan swasta dan BUMN, sesuai dengan ciri organisasi dan tugasnya, memiliki peluang yang lebih besar untuk tumbuh dan berkembang secara lebih cepat. Sedangkan koperasi, sesuai dengan ciri-ciri dan tugasnya yang berorintasi pada upaya peningkatan pendapatan masyarakat golongan ekonomi lemah, tumbuh dan berkembang lebih lamban dibanding dengan kedua wadah pelaku ekonomi.

Oleh karena itu, harus diusahakan agar tingkat pertumbuhan koperasi dapat sejajar dan selaras dengan tingkat pertumbuhan pihak swasta dan BUMN sehingga tercapai pertumbuhan yang merata. Untuk itu tidak dapat dihindarkan bahwa tingkat perkembangan koperasi pada umumnya harus secara aktif dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi pada wadah pelaku ekonomi swasta dan BUMN.

Sebaliknya pihak swasta dan BUMN dalam pertumbuhannya mempunyai kewajiban untuk membantu koperasi dengan memberikan peluang dan dorongan melalui proses belajar yang efektif. Tentu saja bantuan tersebut tanpa harus mengganggu prestasi dan gerak pertumbuhan swasta dan BUMN itu sendiri.

Dengan demikian koperasi, dalam proses perkembangannya, akan lebih terdorong untuk berkembang lebih cepat dalam melaksanakan tugas pokoknya sebagai wadah pemerataan dan mampu mempertahankan perkembangannya, sehingga tidak menjadi beban bagi swasta dan BUMN. Kondisi semacam itu merupakan wujud nyata gambaran pelaksanaan jiwa dan semangat kebersamaan dan kekeluargaan dalam tata perekonomian nasional kita.

Dalam hubungan itu tepat apa yang dijabarkan ISEI dalam naskah penjabaran Demokrasi Ekonomi, bahwa wadah pelaku ekonomi yang kuat tidak dihalangi dalam upayanya memperoleh kemajuan dan perkembangan. Mereka justru berkewajiban membantu perkembangan wadah pelaku ekonomi lainnya yang lebih lemah. Sebaliknya pelaku ekonomi yang lemah perlu dibantu dan diberi dorongan agar dapat lebih maju.

Dengan demikian semua pelaku ekonomi dapat tumbuh dan berkembang bersama-sama sesuai dengan fungsinya. Selanjutnya bentuk hubungan keterkaitan integratif tersebut dalam pelaksanaannya harus tetap dilandaskan dan mengacu pada prinsip-prinsip ekonomi yang rasional dalam mekanisme pasar yang sehat. Oleh karena itu keterkaitan integratif harus dilaksanakan tetap dalam kerangka hubungan yang saling memberi manfaat, baik manfaat ekonomi maupun manfaat sosial. Manfaat sosial di sini berarti bahwa secara langsung maupun tidak langsung, jangka pendek maupun jangka panjang, pasti akan memberikan manfaat ekonomi.

Secara lebih konkrit bentuk keterkaitan integratif dapat berupa tiga bentuk utama, yaitu: persaingan yang sehat, keterkaitan mitra-usaha dan keterkaitan kepemilikan. Dalam membahas keterkaitan integratif melalui persaingan yang sehat, bentuk keterkaitan tersebut dilaksanakan berdasarkan ketentuan adanya kesepakatan untuk bersaing dengan masing-masing mendapatkan keuntungan yang wajar tanpa harus saling merugikan.

Hal itu dapat diwujudkan, baik melalui peningkatan efisiensi masing-masing pihak dalam mengelola sumber daya yang dimiliki secara optimal, maupun melalui pemanfaatan peranan salah satu wadah pelaku ekonomi sebagai pengimbang bagi pelaku ekonomi lain dalam pelaksanaan kegiatan usaha pada bidang tertentu. Semua langkah tersebut diorientasikan pada upaya untuk selalu mengefisienkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia dengan tetap menerima kondisi keterkaitan satu sama lain dalam sistem perekonomian nasional.

Salah satu contoh keterkaitan integratif seperti diuraikan di atas dalam bentuk yang mungkin masih terus disempurnakan, diantaranya adalah tata niaga pangan, khususnya padi dan palawija. Dalam tata niaga pangan tersebut, telah dapat diwujudkan suatu bentuk keterkaitan antara BUMN, koperasi dan swasta, baik sebagai produsen maupun konsumen yang masing-masing dapat menjalakan tugas pokoknya dan mendapatkan keuntungan serta manfaat yang wajar sehingga mereka dapat lebih tumbuh bersama secara merata dan saling tergantung satu sama lain.

Selanjutnya bentuk keterkaitan integratif lainnya dapat bersifat komplementer atau substitusi pada suatu bidang usaha tertentu. Keterkaitan komplementer diartikan bahwa setiap wadah pelaku ekonomi yang masih lemah di bidang tertentu, dapat dibantu dan diperkuat oleh wadah pelaku ekonomi lainnya yang mampu di bidang itu, sehingga secara bertahap yang lemah tadi menjadi kuat. Dalam hubungan itu masing-masing wadah pelaku ekonomi yang terlibat dalam hubungan tersebut haruslah berada dalam posisi dan kedudukan yang setaraf.

Dengan demikian nilai tambah yang dihasilkan dapat dibagi secara proporsional atau seimbang, sesuai dengan prestasi masing-masing wadah pelaku ekonomi. Bentuk keterkaitan Bapak–Anak angkat, Pola PIR, adalah beberapa contoh bentuk keterkaitan komplementer seperti diuraikan di atas.

Dalam kerangka keterkaitan substitusi tersebut apabila salah satu wadah pelaku ekonomi, karena satu dan lain hal, tidak mampu melakukan misi dan peranannya maka untuk sementara peranan tersebut dapat digantikan oleh wadah pelaku ekonomi lainnya yang lebih mampu. Dalam kaitan itu, bentuk substitusi ini dapat dilakukan baik oleh BUMN maupun swasta besar untuk membantu wadah pelaku ekonomi lain yang masih lemah, baik yang tergabung dalam bentuk swasta maupun koperasi.

Selanjutnya pada saat tertentu, jika kondisinya telah memungkinkan, BUMN dan swasta dapat secara bertahap menyerahkan kembali kepemilikan dan pengelolaan usaha itu kepada salah satu wadah pelaku ekonomi yang lemah tadi sesuai dengan bidang usaha yang dikembangkannya. Apabila kegiatan usaha tersebut menyangkut pemerataan, pemilikan dan pengelolaan usaha tersebut diserahkan kepada koperasi.

Sedangkan kegiatan usaha yang menyangkut bidang pertumbuhan ekonomi dapat diserahkan pada sektor swasta. Sebagai contoh yang aktual, bentuk keterkaitan substitusi adalah Tata Niaga Cengkeh. Karena koperasi belum mampu melaksanakannya sendiri, tugas tersebut dilaksanakan oleh swasta yaitu BPPC.

Selanjutnya secara bertahap sesuai dengan kemampuan koperasi, tugas tersebut diserahkan secara penuh kepada koperasi. Ketiga bentuk keterkaitan tersebut di atas, suatu saat akan sampai pada posisi yang lebih terintegrasi secara total, dalam bentuk keterkaitan kepemilikan. Melalui bentuk keterkaitan tersebut, secara bertahap koperasi dapat memilki saham perusahaan, baik koperasi itu sendiri memilki keterkaitan usaha secara langsung maupun tidak langsung dengan perusahaan dimaksud.

Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa integrasi ketiga wadah pelaku ekonomi tersebut yang telah mulai dilaksanakan pada PJPT–I ini harus terus ditekankan dan dimantapkan sebagai wadah dasar guna menggerakkan upaya mewujudkan Trilogi Pembangunan: pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas yang secara selaras, terpadu, saling memperkuat serta mendukung sesuai dengan keunggulan komparatif masing-masing wadah pelaku ekonomi tersebut di masa mendatang.

Dari keseluruhan pola pikir seperti diuraikan tersebut di atas, maka jelaslah bahwa dalam tatanan perekonomian nasional, koperasi Indonesia pada dasarnya mempunyai fungsi yang sarat dengan misi pembangunan, terutama terwujudnya pemerataan.

Koperasi Indonesia merupakan bagian integral dari sistem pembangunan nasional kita. Peranan itu memang susuai dengan ketetapan mengenai fungsi koperasi sebagaimana tercantum dalam Undang-undang nomor 12 tahun 1967 tentang pokok-pokok Perkoperasian yang menegaskan bahwa koperasi sebagai alat perjuangan ekonomi guna mempertinggi kesejahteraan rakyat banyak.

Dari kerangka pendekatan dan pemikiran yang bersifat integral di atas, maka jelaslah bahwa koperasi Indonesia adalah suatu badan usaha yang seharusnya dapat bergerak di bidang usaha apa saja sepanjang orientasinya adalah untuk meningkatkan usaha golongan ekonomi lemah. Koperasi ini pada gilirannya akan memberikan dampak berupa peningkatan kesejahteraan mereka.

Orientasi usaha seperti itulah yang merupakan salah satu ciri sosial dari koperasi yang membedakannya dengan badan usaha lainnya. Dalam hubungan ini perlu juga adanya kejelasan terhadap pendapat bahwa karena koperasi harus melayani yang lemah dan kecil, maka usaha koperasi tidak dapat menjadi besar.

Pendapat demikian ini adalah keliru, karena justru untuk memperoleh kelayakan usahanya, setiap koperasi harus didorong dan dikembangkan menjadi besar dengan menghimpun kekuatan ekonomi dari mereka yang lemah dan kecil-kecil. Memang perlu ditegaskan bahwa besarnya usaha koperasi seperti di atas bukanlah tujuan, tetapi hanya merupakan dampak dari suatu upaya untuk dapat mengembangkan dirinya secara efektif dan efisien.

Tolak ukur perkembangan koperasi Indonesia bukan saja besar atau kecilnya volume usaha atau sumbangannya dalam pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, kurang relevan kalau mengukur keberhasilan koperasi dengan ukuran keberhasilan BUMN atau swasta.

Yang menjadi ukuran koperasi Indonesia adalah sejauh mana usaha koperasi itu terkait dengan usaha anggotanya terutama golongan ekonomi lemah, dan pada gilirannya dapat menghasilkan manfaat sebesar-besarnya dalam proses peningkatan kesejahteraan mereka.

Dengan perkataan lain yang diukur adalah sumbangannya secara langsung dalam proses melaksanakan fungsi pemerataan. Dengan cara pandang demikian koperasi yang memiliki usaha kecil, namun terkait dengan kegiatan usaha para anggotanya akan memiliki bobot kualitas yang lebih tinggi dibanding dengan koperasi yang memiliki usaha besar tetapi tidak terkait dengan kegiatan usaha atau kepentingan para enggotanya.

Dalam hubungan itu tepatlah apa yang dikatakan mantan Presiden Soeharto bahwa, “masih ada yang berpendapat bahwa koperasi tertinggal jauh dibandingkan BUMN dan perusahaan swasta, karena tidak ada koperasi yang memiliki bangunan megah atau usaha berskala besar. Padahal tujuan koperasi bukanlah untuk mendirikan usaha besar serta gedung mewah. Tetapi yang jelas tugas utama koperasi adalah tetap berusaha meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran anggotanya.”

Selanjutnya dalam rangka mengukur keberhasilan pembangunan koperasi juga terdapat pandangan yang kurang tepat apabila dilakukan dengan membandingkan kelambanan proses perkembangan koperasi di Indonesia dengan kecepatan kemajuan koperasi di negara-negara lain, terutama negara-negara maju. Hal ini disebabkan karena koperasi yang sudah pesat kemajuannya di negara lain pada umumnya telah berkembang rata-rata lebih dari 50 tahun.

Sedangkan di Indonesia perkembangan koperasi mulai dibangun secara konseptual dan intensif sejak Pelita II. Di samping itu di negara yang koperasinya sudah maju, pada awal perkembangannya, koperasi tidaklah diberi peran formal untuk mengatasi kemiskinan. Kalau toh ada golongan ekonomi lemah pada saat itu maka jelas golongan tersebut kondisinya jauh lebih baik dibanding dengan kondisi golongan ekonomi lemah di Indonesia.

Dengan posisi seperti itu adalah hal wajar apabila koperasi Indonesia tumbuh lebih lamban, karena membangun koperasi Indonesia tidak mudah dan sederhana mengingat umumnya koperasi dibentuk oleh mereka yang bermodal kecil, berketerampilan sederhana dan tidak memiliki pengetahuan manajemen yang memadai.

Setelah diketahui dengan jelas fungsi koperasi di Indonesia, maka permasalahan selanjutnya adalah bagaimana strategi pembangunannya. Seperti telah kita ketahui bersama bahwa masalah utama dalam pengembangan koperasi Indonesia adalah belum tersedianya jaminan pasar, kelemahan manajemen dan keterbatasan modal.

Masalah seperti itu perlu segera diatasi dengan strategi pembinaan yang tepat dan efektif, serta tetap mengacu pada strategi pembangunan nasional kita seperti yang telah diuraikan di atas, yaitu strategi keterkaitan integratif. Strategi itu telah mulai dilaksanakan sejak Pelita II yang lalu, dengan upaya mengembangkan koperasi Indonesia di pedesaan yang kita kenal dengan Koperasi Unit Desa [KUD]. Strategi itu telah berhasil tidak saja mengembangkan KUD-KUD yang sebagian besar telah mandiri, namun juga sekaligus mampu mengembangkan mitra usahanya baik swasta maupun BUMN.

Namun demikian harus diakui bahwa keberhasilan tersebut belum lagi optimal. Koperasi Indonesia belum lagi dapat berfungsi secara efektif terutama dalam rangka mengangkat rakyat kita yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Itu merupakan tantangan besar bagi koperasi Indonesia. Untuk itu strategi keterkaitan integratif tersebut harus lebih digalakkan dan dimantapkan dalam pelaksanaannya di masa mendatang.

Selanjutnya suatu aspek lain yang perlu kita bahas adalah agar proses hasil keterkaitan integratif itu dapat optimal dan efisien, seyogyanya ketiga wadah pelaku ekonomi tidak berupaya untuk mengembangkan dirinya menjadi organisasi yang eksklusif. Dalam hubungan ini koperasi Indonesia juga harus lebih terbuka karena sikap eksklusifnya hanya akan semakin memperlemah posisinya.

Melalui keterbukaan tersebut, semua aset nasional akan dapat dimanfaatkan untuk menjadi faktor pendorong dalam mempercepat perkembangan koperasi Indonesia, tanpa harus kehilangan asas sendi-sendi dasarnya. Untuk itu, di samping terus mengembangkan kekuatan jaringan koperasi sendiri, seharusnya yang lebih penting adalah menyempurnakan kebijaksanaan dan strategi pembangunan koperasi Indonesia sebagai suatu sistem yang lebih terpadu.

Melalui sistem tersebut, di samping akan dapat dimanfaatkan instansi pembina koperasi terkait juga akan dapat dimanfaatkan oleh pihak lain yang berkepentingan, terutama kedua wadah pelaku ekonomi lainnya untuk membantu bekerjasama dalam membangun koperasi berdasar kerangka hubungan keterkaitan integratif seperti diuraikan di atas.

Sebagai contoh aktual, misalanya pengembangan aspek permodalan koperasi. Untuk mengatasi keterbatasan permodalan yang dimiliki koperasi, di samping mengembangkan lembaga keuangan [bank maupun lembaga keuangan bukan bank] milik koperasi sendiri, koperasi Indonesia harus dapat mengembangkan suatu sistem permodalan koperasi Indonesia yang dapat dimanfaatkan oleh lembaga keuangan non-koperasi untuk membantu mengatasi kebutuhan permodalan koperasi tersebut.

Ketentuan dan kebijaksanaan Pakjan 29/1990 misalanya adalah salah satu bentuk kongkrit dari sistem permodalan koperasi. Melalui ketentuan itu semua lembaga keuangan bank milik pemerintah, swasta maupun koperasi dapat bersama-sama berkiprah untuk mengatasi dan membangun permodalan koperasi yang kokoh dan kuat.

Selanjutanya dalam rangka menyempurnakan kebijaksanaan strategis pembangunan koperasi Indonesia tersebut di atas, ketentuan-ketentuan yang ada dan tidak relevan perlu ditinjau kembali dengan pengertian untuk mempercepat peningkatan kwalitasa internal organisasi koperasi agar benar-benar dapat menjadi lembaga usaha yang efisien dan mandiri.

Melalui langkah itu, diharapkan koperasi Indonesia akan mampu memanfaatkan peluang yang dihadapi dalam kegiatan usahanya sendiri, dan selanjutnya mampu mengembangkan hubungan keterkaitan integratif dengan dua wadah pelaku ekonomi lainnya.

Sejarah mencatat bahwa citra koperasi pernah merosot hingga titik terendah pada masa lalu. Hal itu disebabkan karena terjadinya praktek-praktek berkoperasi yang sudah jauh menyimpang dari prinsip dan sendi dasar koperasi sendiri. Akibatnya, saat itu rakyat telah kehilangan kepercayaan terhadap koperasi. Sekiranya dibiarkan, akan diperlukan waktu yang relative sangat lama untuk menumbuhkan kembali kepercayaan rakyat itu.

Oleh sebab itu pemerintah berkewajiban untuk membantu upaya membangun kembali citra koperasi. Yang terpenting untuk diketahui adalah bahwa keterlibatan pemerintah itu bukanlah keterlibatan permanen, tetapi hanya bersifat sementara.

Berdasar hal itu kebijakan pemerintah untuk membina koperasi Indonesia, khususnya koperasi pedesaan, adalah dengan menerapkan strategi tiga tahap pembangunan: tahap ofisialisasi, tahap deofisialisasi dan tahap otonomi.

Pada tahap ofisialisasi, pemerintah secara sadar mengambil peran besar untuk mendorong dan mengembangkan prakarsa dalam proses pembentukan koperasi. Lalu, membimbing pertumbuhannya serta menyediakan berbagai fasilitas yang diperlukan.

Sasarannya adalah agar koperasi dapat hadir dan memberikan manfaat dalam pembinaan perekonomian rakyat, yang pada gilirannya diharapkan akan menumbuhkan kembali kepercayaan rakyat sehingga mendorong motivasi mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan koperasi tersebut.

Tahap deofisialisasi ditandai dengan semakin berkurangnya peran pemerintah. Diharapkan pada saat bersamaan partisipasi rakyat dalam koperasi telah mampu menumbuhkan kekuatan intern organisasi koperasi dan mereka secara bersama telah mulai mampu mengambil keputusan secara lebih mandiri. Tahap ketiga adalah otonomi. Tahap ini terlaksana apabila peran pemerintah sudah bersifat proporsional. Artinya, koperasi sudah mampu mencapai tahap kedudukan otonomi, berswadaya atau mandiri.

Tahapan tersebut di atas telah dilaksanakan secara konsisten sejak Pelita II, di mana pemerintah pertama-tama memprakarsai untuk menyusun konsep kelembagaan koperasi pedesaan.

BAB III

KESIMPULAN

Menurut pasal 33 UUD 1945, koperasi ditetapkan sebagai bangun usaha yang sesuai dalam tata ekonomi kita berlandaskan demokrasi ekonomi. Oleh karena itu, seharusnya koperasi perlu dipahami secara lebih luas, yaitu sebagai suatu kelembagaan yang mengatur tata ekonomi kita berlandaskan jiwa dan semangat kebersamaan dan kekeluargaan.

Dalam tatanan perekonomian nasional, koperasi Indonesia pada dasarnya mempunyai fungsi yang sarat dengan misi pembangunan, terutama terwujudnya pemerataan. Koperasi Indonesia merupakan bagian integral dari sistem pembangunan nasional

Dari kerangka pendekatan dan pemikiran yang bersifat integral di atas, maka jelaslah bahwa koperasi Indonesia adalah suatu badan usaha yang seharusnya dapat bergerak di bidang usaha apa saja sepanjang orientasinya adalah untuk meningkatkan usaha golongan ekonomi lemah

Yang menjadi ukuran koperasi Indonesia adalah sejauh mana usaha koperasi itu terkait dengan usaha anggotanya terutama golongan ekonomi lemah, dan pada gilirannya dapat menghasilkan manfaat sebesar-besarnya dalam proses peningkatan kesejahteraan mereka. Dengan perkataan lain yang diukur adalah sumbangannya secara langsung dalam proses melaksanakan fungsi pemerataan.

Global Warming kapitalis Dan Etika Islam

Global Warming kapitalis

Dan Etika Islam

Pengantar

Istilah GW (singkatan versi saya sendiri) kepada Global Warming akhir-akhir ini begitu akrab di telinga kita, lebih-lebih bagi aktivis lingkungan. Ini suatu yang gawat, bahkan ada yang menyamakannya dengan senjata pemusnah massal. Simaklah seperti apa yang dicatat oleh Robert May, presiden lembaga ilmiah Inggris terkemuka, Royal Society yang memberi peringatan tentang bahaya global warming pada konferensi 12 hari di Montreal terkait nasib Protokol Kyoto. Ia mengatakan, "Dampak pemanasan global banyak dan serius: naiknya permukaan laut, perubahan dalam ketersediaan air bersih dan meningkatnya berbagai kejadian luar biasa -banjir, kekeringan dan topan- yang konsenkuensi seriusnya meningkat menjadi sebanding dengan senjata pemusnah masal". ? Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon menyerukan pentingnya tindakan untuk mengatasi pemanasan global, dan memperingatkan bahwa dunia pada saat ini berada di ambang bencana. Ban memberi komentar pada suratkabar International Herald Tribune, "Saya selalu menyebutkan pemanasan global akan menjadi masalah yang paling penting. Sekarang saya yakin bahwa kita kini berada di ambang bencana, jika kita tidak melakukan tindakan apapun." Ia juga mencatat meningkatnya pencairan sungai es (gletser) dan es di kutub, serta menandaskan bahwa hancurnya es di Antartika itu akan menaikkan ketinggian air laut sampai enam meter atau 18 kaki, yang bisa menenggelamkan kota-kota pantai New York, Mumbai dan Shanghai. Ia berkata, "Saya tidak menyebarkan kepanikan. Tapi saya yakin bahwa kita saat ini makin mendekati saat-saat yang mengerikan itu"

Pengertian Singkat Global Warming

Global warming adalah isu yang paling global di seantero bumi ini. Tidak ada isu yang lebih global ketimbang global warming karena semua manusia hidup di bawah satu atap yang bernama atmosfer. Global warming adalah fenomena berupa kenaikan temperatur rerata atmosfir bumi dan laut yang diperkirakan akan terus berlanjut. Model perhitungan yang didasarkan pada hasil IPCC (Intergovermental Panel on Climate Change) memprediksi terjadinya kenaikan temperatur antara 1,1 hingga 1,6 derajat C antara tahun 1990 hingga 2100 (Climate Change 2007: The Physical Science Basis - Summary for Policymakers).

Penyebab Terjadinya Pemanasan Global

Pemanasan bumi secara global ini disebabkan oleh semakin meningkatnya konsentrasi gas seperti CH4, CO2 dan lainnya. Gas-gas ini menimbulkan efek alami yang disebut dengan efek rumah kaca (greenhouse effect). Munculnya fenomena efek rumah kaca ini dapat dijelaskan sebagai fenomena karena terperangkapnya radiasi matahari di atmosfer bumi. Radiasi matahari ini datang ke bumi pada siang hari dengan intensitas 1200 W/m2 (di daerah katulistiwa pada tengah hari) atau 235 W/m2 rata-rata. Sebagian energi yang berupa ultraviolet dikonversi serta dihamburkan oleh lapisan ozon di stratosfer. Sebagian lagi dari berbagai panjang gelombang dihamburkan oleh atmosfer ke angkasa luar sehingga hanya sekitar 168 W/m2 yang diserap permukaan bumi. Permukaan bumi (daratan, lautan, vegetasi, hunian manusia) memancarkan balik sebagian sinar matahari dalam bentuk radiasi inframerah. Gas rumah kaca (H2O, CO2, CH4) menyerap pancaran radiasi infra merah ini sehingga atmosfer menjadi hangat. Dalam keadaan setimbang, permukaan bumi memancarkan dan menyerap energi rata-rata sebesar 492 W/m2.

Uap air (H2O) sebenarnya merupakan gas rumah kaca terkuat (memberikan sumbangan 36 – 70 % efek rumah kaca). Akan tetapi siklus harian air mencegah akumulasi berlebihan uap air di atmosfir. Efek uap air hanya dirasakan sebagai perubahan suhu harian atau sesuai dengan perubahan cuaca. Gas CO2 (memberi sumbangan 9 – 26 %) menimbulkan efek rumah kaca tidak sekuat uap air tetapi jauh lebih kuat daripada CH4 (memberikan sumbangan 4 – 9%). Gas rumah kaca lain adalah ozon (O3) yang memberikan sumbangan sebesar 3 – 7 %. Baik gas CO2 maupun CH4 dapat berada di atmosfir untuk waktu yang lama, sehingga CO2 merupakan gas utama yang bertanggung jawab atas pemanasan bumi.

Akibat aktivitas manusia dalam penggunaan energi fosil yang berlebih berakibat semakin banyaknya emisi CO2 di atmosfer. Akibatnya, semakin hari suhu bumi secara global mengalami peningkatan yang akhirnya kita mengenal fenomena global warming.

Hubungannya Global Warming dengan Kapitalis

Peningkatan gas rumah kaca terutama CO2 dimulai secara signifikan setelah kebangkitan ideologi kapitalis di Eropa dengan industrialisasinya. Gambar 1 menunjukkan korelasi ini dan menggambarkan peningkatan yang lebih tajam pada tahun-tahun berikutnya ketika industri mulai berkembang. Sehingga tidak salah bila kapitalisme dinobatkan sebagai ideologi dan peradaban yang bertanggung jawab atas global warming.

Disamping itu, negara-negara industri kapitalis merupakan negara yang paling bertanggung jawab dalam emisi berlebih CO2. Amerika Serikat penghasil CO2 terbesar, yaitu 25% dunia. Wyongming, negara bagian AS dengan penduduk yang tidak banyak, hanya 495.7000 orang, menghasilkan CO2 lebih banyak dibandingkan dengan tujuh puluh empat negara berkembang dengan jumlah populasi gabungan hampir sebaganyak 369 juta jiwa. Emisi CO2 yang dihasilkan Texas, dengan populasi 22 juta jiwa, setara dengan emisi gas yang dihasilkan oleh 120 negara berkembang dengan jumlah penduduk lebih dari 1,1 miliar manusia. Secara kuantitatif AS menghembuskan hampir 6500 Mega Ton CO2-equivalen yang 95% dari sektor energi, sementara Indonesia (minus kebakaran hutan) dengan jumlah penduduk yang hampir sama dengan AS menghembuskan hanya sekitar 400 Mega Ton CO2-equivalen. Bila ditotal maka negara kapitalis yang tergabung dalam G-8 (AS, Jepang, Jerman, Kanada, Inggris, Perancis, Italia dan Rusia) membuang CO2 sebanyak 68% dunia. Ini artinya negara industri kapitalis, dengan ideologi kapitalisnya, mengakibatkan bencana kehidupan berupa global warming.

Kesalahan kapitalisme sehingga berdampak destruktif terhadap kehidupan dapat dirunut dari kesalahan falsafah dasar yang membangun ideologi ini. Falsafah dasar ini terkait dengan pandangannya terhadap konsep kebutuhan manusia dan problem ekonomi. Kapitalisme beranggapan bahwa kebutuhan manusia tidak terbatas, sementara alat pemuas kebutuhan bersifat terbatas. Ini yang disebut dengan teori scarcity (kelangkaan). Dengan asumsi ini maka manusia harus melakukan aktivitas produksi untuk menjawab kelangkaan sumber daya pemuas. Peningkatan produksi dilakukan dengan pertumbuhan industri yang selanjutnya diistilahkan dengan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, teori ekonomi kapitalis senantiasa memandang bahwa problem ekonomi manusia terletak pada teori kelangkaan ini. Problem ini akan terpecahkan (kemakmuran akan tercapai) dengan satu hal, yaitu pertumbuhan ekonomi. Itulah yang menyebabkan bahwa pertumbuhan ekonomi selalu menjadi tujuan utama dalam pembangunan ekonomi kapitalis.

Pertumbuhan ekonomi kapitalis ini akan berdampak pada peningkatan emisi CO2 yang tidak terkendali. Pertumbuhan ekonomi kapitalis berarti peningkatan kebutuhan bahan baku industri, peningkatan kebutuhan energi, peningkatan produksi limbah dan perubahan gaya hidup (Lihat Andang WH dalam makalah Global Warming, Bencana Global Ideologis). Semua aktivitas ini berdampak pada peningkatan CO2, baik secara langsung maupun tak langsung.

1. Peningkatan kebutuhan bahan baku industri

Pertumbuhan volume industri berarti peningkatan kebutuhan bahan baku, yang mendorong manusia untuk melakukan eksploitasi sumber daya alam baik berupa hutan, biota laut, tambang sebagai bahan baku industri. Sumber daya alam berupa vegetasi (hutan) serta vegetasi laut tidak lain adalah absorber CO2 yang utama. Disamping digunakan sebagai bahan baku industri, kerusakan hutan juga terjadi sebagai akibat pengalihan penggunaan lahan. Dalam hal ini, hutan dialihkan menjadi perkebunan, yang tanamannya memiliki kemampuan serapan CO2 lebih rendah daripada hutan. Di beberapa tempat hutan juga dialihkan menjadi lahan pemukiman dan bahkan areal industri, sebagian yang lain rusak akibat pencemaran. Semuanya ini merupakan dampak dari pertumbuhan ekonomi ala kapitalis.

2. Peningkatan kebutuhan energi

Pertumbuhan industri berarti meningkatkan kebutuhan akan energi. Pada Gambar 2, ditunjukkan peran berbagai sumber energi untuk memenuhi kebutuhan energi dunia sekarang ini. Tampak bahwa sumber energi fosil seperti batubara, minyak dan gas bumi (pembakarannya menghasilkan CO2) memegang peran sangat besar. Pada Gambar 3, ditunjukkan emisi CO2 per kWh dari penggunaan berbagai sumber energi. Tampak pula bahwa penggunaan sumber energi fosil, batubara, minyak dan gas bumi, memberikan emisi sangat besar per kWh dibandingkan dengan sumber energi lainnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sektor energi memberikan sumbangan yang sangat penting bagi peningkatan emisi CO2 di atmosfer.

3. Peningkatan produksi limbah

Hal terpenting yang merupakan dampak peningkatan indutrialisasi sebagai dampak pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan produksi limbah. Limbah diproduksi sebagai konsekuensi pengolahan bahan baku menjadi produk industri, penggunaan bahan bakar dan pembuangan produk industri yang sudah usang. Efek langsung produksi limbah adalah kerusakan absorber CO2 alami, yaitu vegetasi daratan (hutan) maupun biota laut.

4. Perubahan gaya hidup

Pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan industri harus ditunjang dengan penciptaan pasar untuk menjual produk industri. Penciptaan pasar ini biasanya dilakukan dengan penciptaan pola hidup konsumtif. Teknologi periklanan pun berkembang untuk membentuk pola hidup yang mengejar keinginan. Kemudian, berbagai industri dewasa ini semakin cenderung memproduksi produk-produk yang berumur pakai pendek (misal industri mobil, kosmetik dan sebagainya). Sebagian industri lain menciptakan trend produk baru untuk membuat produk lama tampak usang dan ketinggalan jaman. Dengan demikian konsumen didorong untuk membeli produk-produk baru padahal produk lama belum sepenuhnya termanfaatkan. Produk lama ini pada akhirnya akan dibuang sebagai sampah. Dengan demikian, pada dasarnya industri sekarang ini memproduksi sampah sebagai produk industrinya dan hal ini semakin meningkat. Untuk itu, industri sekarang menghasilkan sampah juga selama prosesnya dan tentu saja sambil mengeksploitasi sumber daya alam. Semuanya ini berakibat kerusakan alam. Dalam kaitan dengan global warming, semuanya ini akan merusak absorber CO2 alami.

Bila ditelaah lebih jauh, kesalahan dari kapitalisme adalah ketidakmampuan ideologi ini dalam membedakan antaran kebutuhan (need) dan keinginan (want). Pandangan bahwa kebutuhan manusia tidak terbatas sementara alat pemuas kebutuhan bersifat terbatas adalah pandangan yang menyesatkan. Alam yang ada sebenarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia secara keseluruhan. Yang tidak terbatas sebenarnya adalah keinginan manusia akan materi. Kapitalisme tidak bisa membedakan mana yang merupakan kebutuhan dan mana yang merupakan keinginan. Akibat teori kelangkaan ini semua diproduksi selama ada permintaan (keinginan), tanpa memperhatikan ia dibutuhkan ataukah tidak oleh manusia. Akibatnya, seperti dijelaskan di atas, banyak barang yang diproduksi sebenarnya tidak dibutuhkan sehingga menjadi sampah yang merusak ekologi. Dalam skala yang lebih luas aktivitas produksi yang tidak sehat ini berdampak pada eksploitasi sumber daya alam dan energi yang berakibat munculnya fenomena global warming.

Pandangan kapitalis yang salah tentang hak pengelolaan alam juga turut mengakibatkan bencana global warming. Kapitalisme menekankan privatisasi sektor publik seperti tambang energi, mineral, hutan, air, laut. Akibatnya eksploitasi alam menjadi tidak terkendali karena dikuasai oleh segelintir manusia yang menghamba pada pertumbuhan serta tidak merasa bertanggung jawab terhadap lingkungan. Prinsip ekonomi dengan modal sesedikit mungkin menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya mengakibatkan masalah limbah bukan menjadi urusan bisnis, apalagi penanganan limbah membutuhkan modal yang tidak sedikit. Walhasil, kita melihat di setiap ada perusahaan asing mengeksploitasi sumber daya alam di sana ada persoalan limbah. Jadi penguasaan kepemilikian publik, seperti tambang mineral, energi, hutan, laut, oleh swasta ditambah prinsip ekonomi yang rakus dan regulasi yang pro pebisnis disertai korupnya kekuasaan menjadikan manusia hidup di bawah ancaman ekonologis yang dahsyat berupa penenggelaman bumi oleh global warming.

Disamping itu, ekonomi kapitalis yang bertumpu pada sektor non-riil mengakibatkan hasrat untuk tumbuh menjadi tidak terbendung dan tidak terkendali. Perbankan dan sektor finansial ribawi turut memberikan fasilitas bagi korporasi dalam mengeksploitasi alam. Akibatnya sistem ini menghasilkan hyper growth, namun tidak mampu menyelesaikan masalah kemiskinan global, malah menghasilkan pemanasan global.

Ekonomi kapitalis yang bertumpu pada sektor non-riil mengakibatkan hasrat untuk tumbuh menjadi tidak terbendung dan tidak terkendali. Perbankan dan sektor finansial ribawi turut memberikan fasilitas bagi korporasi dalam mengeksploitasi alam. Akibatnya sistem ini menghasilkan hyper growth, namun tidak mampu menyelesaikan masalah kemiskinan global, malah menghasilkan pemanasan global.

Tahapan Pemetaan Solusi Global Warming

Menyelesaikan problem global warming tidak cukup hanya menyentuh aspek teknis engineering. Bila hanya berbicara dalam tataran itu maka para ahli telah merumuskan banyak cara untuk mengatasi global warming, diantaranya :

  1. Penghematan energi. Hal ini berarti mengurangi pembakaran bahan bakar fosil yang merupakan sumber energi utama peradaban sekarang. Berbagai mesin (industri, transportasi) dan peralatan (rumah tangga, kantor) didesain untuk menghemat pemakaian energi.

  1. Sequestrasi CO2 dengan media pelesap alami. Berbagai jenis batuan dapat menyerap CO2 untuk kemudian membentuk senyawa karbonat. Berbagai negara melakukan studi dalam hal ini dengan menggunakan lapisan batuan pada goa-goa bekas tambang garam.

  1. Penangkapan dan penyimpanan CO2. Pada idea ini, CO2 yang dihasilkan dari proses pembakaran bahan bakar fosil tidak dibiarkan terlepas ke atmosfir tetapi ditangkap dan disimpan dengan cara dicairkan, diberi tekanan atau direaksikan menjadi senyawa karbonat. Problem yang muncul dalam hal ini adalah kebutuhan area atau medium yang sangat luas dan masif untuk penyimpanan CO2.

  1. Penggantian bahan bakar. Solusi ini merupakan solusi engineering yang dianggap paling komprehensif tetapi sekaligus juga paling rumit. Pada metode ini, penggunaan bahan bakar fosil akan digantikan oleh bahan bakar lain.

  1. Konservasi hutan, penghijauan dan menjaga vegetasi laut untuk absorbsi alami CO2.

Semua solusi teknis engineering yang ditawarkan selain memiliki beberapa kendala teknis, juga tidak dapat berjalan efektif ketika tidak ada kebijakan politik untuk mengurangi emisi CO2, terutama dari negara-negara industri kapitalis. Sebagai contoh negara emitter CO2 terbesar Amerika Serikat dengan gigih menolak Protokol Kyoto tentang pembatasan internasional atas tingkat pencemaran akibat emisi. Bali Roadmap yang diselenggarakan Desember 2007 lalupun terganjal dengan sikap AS yang arogan. Beberapa negara industri juga cenderung tarik ulur dalam masalah pengurangan secara pasti emisi CO2. Keengganan negara industri untuk serius mengatasi pengurangan CO2 menunjukkan persoalannya bukan terletak pada masalah teknis-engingering, namun masalahnya adalah pada level kebijakan politik.

Kebijakan politik yang mengabaikan nasib bumi ini adalah hasil dari ideologi kapitalis yang menjadikan ekonomi sebagai panglima. Mengurangi emisi karbon berarti negara maju harus mengurangi jumlah industri atau mengurangi jumlah produksi industri mereka. Hal ini berarti menghambat pertumbuhan. Penurunan pertumbuhan tentu bertentangan dengan cita-cita ekonomi kapitalis. Bagi mereka ini bencana ekonomi yang berdampak fatal pada kehidupan mereka. Jadi, negara kapitalis tidak mungkin mengambil kebijakan politik kalo harus menurunkan target pertumbuhan nasional.

Dapat disimpulkan penyelesaian global warming bukan sekedar penyelesaian di teknis-engineering, bukan pula pada perubahan kebijakan politik, tapi pada aras yang lebih dasar yaitu ideologi. Ideologi kapitalis harus diganti kalo kita ingin penyelesaian tuntas masalah global warming. Ideologi ini sangat bersifat egois dan ingin menangnya sendiri. Kita tentu masih ingat bagaimana dulu negara kapitalis Eropa melakukan kolonialisasi di Asia dan Afrika. Begitupun sekarang ini, kolonialisasi dibungkus dengan baju globalisasi. Jadi egoisme yang inheren pada kapitalisme membuat mereka berhitung secara ekonomi tentang penuntasan pemanasan global, tidak peduli bagaimana nasib bumi ini. Bahkan keegoisan penganut kapitalisme ini sudah tidak rasional lagi. Pada pertemuan tahunan 2006 di Davos, beberapa orang dari industri minyak membicarakan peluang-peluang baru yang diberikan oleh pemanasan global: mencairnya Kutub Utara akan membuat minyak di bawah Laut Arketik lebih mudah didapatkan. Bayangkan! Demi keuntungan mereka tidak peduli dengan nasib tenggelamnya kota New York, London dan beberapa kepulauan di laut Pasifik.

Bagaimana dengan negara berkembang? Setali tiga uang. Negara berkembang mau memperhatikan global warming karena kepentingan yang bersifat ekonomi pula. Walhasil, berbagai kesepakatan, konferensi atau pertemuan dunia yang menyangkut global warming telah bergeser menjadi isu ekonomi (perdagangan karbon), bukan lagi masalah ekosistem dan kemanusiaan. Inilah ideologi kapitalisme yang dipakai manusia bumi saat ini. Oleh sebab itu solusi terhadap persoalan global warming bukanlah persoalan mencari solusi teknis engineering ataupun solusi kebijakan politik, namun lebih jauh dari itu. Pergantian ideologi kapitalis dan penerapan ideologi alternatif merupakan solusi yang bisa diharapkan. Oleh sebab itu, Islam sebagai ideologi alternatif dapat dijadikan referensi seluruh manusia untuk menyelamatkan bumi.

tygsß ßŠ$|¡xÿø9$# Îû ÎhŽy9ø9$# ̍óst7ø9$#ur $yJÎ/ ôMt6|¡x. Ï÷ƒr& Ĩ$¨Z9$# Nßgs)ƒÉãÏ9 uÙ÷èt/ Ï%©!$# (#qè=ÏHxå öNßg¯=yès9 tbqãèÅ_ötƒ ÇÍÊÈ

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan manusia, supaya Allah merasakan untuk mereka sebagian (dari akibat) perbuatan tangan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar berupa Islam)” (Q.S. Ar-Rum: 41).

Solusinya ada pada Islam

Islam memiliki perspektif khas dalam memandang hubungan manusia dan alam. Hal ini menjadi dasar bagi tegaknya keseluruhan peradaban Islam, termasuk penataan lingkungan. Persepektif ini dibangun dari konsep tauhid dan ibadah. Konsep Tauhid memberikan cara pandang bahwa manusia, alam dan kehidupan merupakan ciptaan Allah SWT, yang mana Allah telah menciptakan semua ini dengan tujuan yang telah ditentukan. Allah telah menciptakan manusia, alam dan kehidupan dalam suatu kesetimbangan yang sinkron dan dinamis (Q.S. Al Baqarah: 30, Q.S. Ali Imran: 190). Kemudian, konsep ibadah memberikan pandangan bahwa tujuan hidup manusia hanyalah untuk beribadah kepada Allah (Q.S. Adz Dzariyat: 56). Ibadah di sini berarti seluruh perbuatan manusia harus ditata sesuai dengan aturan dari Sang Pencipta. Setelah kehidupan dunia ini, akan datang hari akhir, dimana semua manusia akan mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya kepada Allah SWT. Dengan kedua konsep utama ini, maka Islam sangat berbeda dengan kapitalisme yang bersifat anthroposentris. Dalam Islam manusia tidak dapat berbuat semaunya di dunia ini tetapi harus terikat dengan aturan main Islam (Q.S. Al-Ahzab: 36).

$tBur tb%x. 9`ÏB÷sßJÏ9 Ÿwur >puZÏB÷sãB #sŒÎ) Ó|Ós% ª!$# ÿ¼ã&è!qßuur #·øBr& br& tbqä3tƒ ãNßgs9 äouŽzÏƒø:$# ô`ÏB öNÏd̍øBr& 3 `tBur ÄÈ÷ètƒ ©!$# ¼ã&s!qßuur ôs)sù ¨@|Ê Wx»n=|Ê $YZÎ7B ÇÌÏÈ

dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.

Dalam pandangan ekonomi, Islam berbeda dengan kapitalis yang bertolak dari teori scarcity (kelangkaan) dimana produktifitas atau pertumbuhan dijadikan acuan utama ukuran keberhasilan ekonomi. Bila pertumbuhan kapitalis berdampak pada produksi barang dan eksploitasi alam yang tidak terkendali maka dalam Islam pertumbuhan berjalan lebih konservatif dan hati-hati. Produksi dalam Islam menjadi lebih selektif dan mengutamakan kebutuhan hakiki manusia. Dalam konsep Islam dibedakan antara kebutuhan pokok dan kebutuhan mewah. Prioritas produksi dan konsumsipun mendahulukan kebutuhan pokok. Sehingga barang yang diproduksi berdasarkan keinginan dalam ideologi kapitalis belum tentu dibutuhkan dan diproduksi dalam ideologi Islam. Karena konsep tauhid dan ibadah maka di dalam peradaban Islam manusia memiliki pola konsumsi dan produksi yang lebih baik dan tidak berlebih. Pertumbuhan dengan model Islam ini akan lebih hemat sumber daya alam dengan mengurangi eksploitasi yang berlebihan; mengurangi dampak negatif dari eksploitasi alam berupa kerusakan alam dan polusi akibat limbah; serta menjamin keberlangsungan alam dan ketersediaan sumber dayanya untuk generasi mendatang.

Pertumbuhan ekonomi Islam yang konservatif dan hati-hati ini dapat berjalan karena didukung oleh konsep ekonomi makro maupun mikro perspektif Islam. Konsep ekonomi makro Islam diantaranya: sistem moneter dengan berbasis mata uang emas dan perak dan bukan mata uang mengambang (floating money); sistem moneter non-riba yang mengandalkan sektor ekonomi riil dan meniadakan sistem ekonomi non riil ribawi (Q.S. Al-Baqarah: 275).

šúïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ (#4qt/Ìh9$# Ÿw tbqãBqà)tƒ žwÎ) $yJx. ãPqà)tƒ Ï%©!$# çmäܬ6ytFtƒ ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºsŒ öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î) «!$# ( ïÆtBur yŠ$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $pkŽÏù šcrà$Î#»yz ÇËÐÎÈ

orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

Konsep ekonomi Islam mikro yang mendukung adalah konsep investasi (syirkah) yang memastikan bahwa setiap proyek (aktifitas ekonomi) akan berjalan jika benar-benar telah terdapat dana riil (yang berupa uang berbasis emas dan perak).

Bila Kapitalis tidak dapat menghindari eksploitasi alam berlebih, sebagai konsekuensi privatisasi sektor publik, maka Islam menjamin terkendalinya pemanfaatan alam. Dalam Islam dibedakan kepemilikan manusia menjadi tiga macam, yaitu: kepemilikan umum, kepemilikan negara dan kepemilikan individu. Dalam Islam, kekayaan alam yang berjumlah besar seperti tambang energi, barang mineral, laut dan hutan akan dikelola oleh negara yang hasilnya untuk kepentingan rakyat, (Bayangkan bila kekayaan emas, minyak, batu bara, hutan, laut dan kekayaan bumi ini hasilnya dikembalikan untuk rakyat (muslim maupun non muslim) sehingga pendidikan, kesehatan, keamanan dijamin oleh negara bahkan sandang, pangan dan papan juga turut diperhatikan oleh negara?. Dengan memperhatikan kesehatan ekologis dan kesetimbangan ekosistem. Disamping itu eksploitasi alam yang menimbulkan mudharat sistemik kepada manusia diharamkan. Jadi, eksplorasi dan pemanfaatan sumber daya alam di dalam Islam harus terkendali. Hal ini dapat terimplementasi bila negara yang mengelola sumber daya alam ini adalah negara yang amanah berdasar syariah.

Bila Kapitalis menjadikan ekonomi sebagai panglima bagi pembangunan peradaban, yang artinya nilai materi (qimah madiyah) dijadikan orientasi utama dalam menjalani kehidupan maka dalam Islam materi hanyalah salah satu dari empat nilai yang dituju oleh manusia. Selain nilai bersifat materi, ada juga nilai lain seperti nilai kemanusiaan (qimah insaniyah), nilai spiritual-ibadah (qimah ruhiyah) dan nilai moralitas (qimah akhlak). Perbuatan manusia seperti jual beli, ijarah, syirkah termasuk perbuatan dengan qimah madiyah. Pendidikan, pelayanan kesehatan, pemeliharaan anak, pertolongan kepada orang yang membutuhkan pertolongan adalah perbuatan dengan qimah insaniyah. Begitu pula amal-amal yang dilakukan oleh pejabat negara dalam menjalankan tugasnya sebagai qimah insaniyah. Shalat, zakat, puasa, haji, berdo’a, membaca Al Qur-an, jihad fi sabilillah adalah perbuatan dengan qimah ruhiyah. Berpakaian, menjaga silaturahim adalah contoh perbuatan dengan qimah akhlak.

Dengan demikian, maka manusia dalam Islam adalah hamba Allah SWT bukan hamba ekonomi. Kesadaran sebagai hamba Allah SWT membuat manusia memiliki kesempatan untuk hidup lebih baik. Manusia akan melakukan aktivitas berfikir dan berkarya dalam konteks penghambaan kepada Sang Pencipta. Manusia akan menyelenggarakan kehidupan bernegara, berekonomi, berpolitik dan mengekplorasi serta memanfaatkan alam untuk tujuan yang sesuai dengan rel seorang hamba. Dengan demikian kehidupan manusia akan menjadi kehidupan yang penuh rahmat dan barokah jauh dari persoalan global warming.
öqs9ur ¨br& Ÿ@÷dr& #tà)ø9$# (#qãZtB#uä (#öqs)¨?$#ur $uZóstGxÿs9 NÍköŽn=tã ;M»x.tt/ z`ÏiB Ïä!$yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur `Å3»s9ur (#qç/¤x. Mßg»tRõs{r'sù $yJÎ/ (#qçR$Ÿ2 tbqç7Å¡õ3tƒ ÇÒÏÈ

“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (Q.S. Al A’raf : 96).

Setiap aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya pasti mempengaruhi lingkungan. Hal tersebut telah ditanyakan oleh para malaikat kepada Allah saat malaikat bertanya mengapa Allah menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi padahal manusia itu akan membuat kerusakan di muka bumi. Pertanyaan ini terekam dalam Surat Al Baqarah ayat 30.

Manusia sejak lahir memerlukan dukungan alam seperti selimut, kain, popok, makanan, susu, dan sebagainya, sehingga keberadaan manusia di muka bumi akan mempengaruhi lingkungan sekitarnya. Semakin banyak jumlah manusia maka kecenderungan kerusakan lingkungan semakin besar. Semakin banyak kebutuhan manusia, semakin cepat terdegradasi lingkungan di sekitarnya.

Beberapa ilmuwan menyatakan pemanasan global terjadi karena faktor alam. Namun sebagian besar lagi menyatakan hal itu terjadi karena ulah manusia. Alquran menjawab perdebatan faktor penyebab pemanasan global melalui Surat Asy-Syura ayat 27. Di situ disebutkan bahwa penyebab kerusakan bumi itu adalah ulah manusia itu sendiri yang melampaui batas (berlebih-lebihan).

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Qs. Ar-Ruum : 41)

Akibat berlebih-lebihan

Lingkungan memiliki daya lenting berupa kemampuan untuk kembali ke keadaan semula setelah diintervensi. Lingkungan dapat kembali ke keadaan keseimbangan apabila terjadi intervensi, namun tingkat pengembaliannya memerlukan banyak waktu. Kecepatan intervensi manusia sendiri tergantung dari tingkat kebutuhan dan keinginannya.

Penyebab utama pemanasan global adalah pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam, yang melepas karbondioksida dan gas-gas lainnya yang dikenal sebagai gas rumah kaca ke atmosfer. Pembakaran bahan bakar fosil umumnya disebabkan aktivitas industri, transportasi, dan rumah tangga. Aktivitas tersebut meningkat seiring dengan pertambahan penduduk dan keinginan masyarakat modern yang semakin beragam.

Pandangan Islam mengenai pertambahan penduduk dan keinginan masyarakat modern yang makin beragam adalah mengingatkan agar tindakan dan kebutuhan manusia tidak berlebih-lebihan (Al-Isra:27). Kebutuhan manusia dapat diperhitungkan dan dipenuhi oleh sumber alam yang ada di muka bumi, namun keinginan manusia sangatlah banyak. Memenuhi semua keinginan manusia hanya akan memperburuk keadaan. Perbandingan pola produksi dan konsumsi di antara negara berkembang dan negara maju membuktikan hal tersebut.

Dari data World Resources Institute tahun 1994 menunjukkan bahwa pada tahun 1991 AS mengkonsumsi energi hampir tiga kali lipat lebih banyak dari Jepang untuk menghasilkan 1 dolar AS GNP-nya. Dengan penduduk yang hanya 4,6 persen dari penduduk dunia, pada tahun 1991 AS menghasilkan 22 persen emisi global CO2. Dengan pola konsumsi energi sebagai indikator bagi lingkungan yang berkelanjutan, kelahiran bayi di AS menghasilkan 2 kali lipat dampak lingkungan bagi bumi dibandingkan seorang bayi yang lahir di Swedia, 3 kali lipat dibanding di Italia, 13 kali lipat dibanding Brazil, 35 kali dari India, dan 140 kali lipat dibanding Bangladesh.

Berbagai macam solusi telah ditawarkan untuk mengurangi dampak pemanasan global seperti menanam pohon untuk menyerap gas karbon dioksida yang ada di udara, mengurangi penggunaan barang-barang yang tidak dapat didaur ulang, mengurangi emisi CFC, dan sebagainya. Alquran lebih jauh membahas solusi permasalahan tersebut dari sikap preventif yaitu dengan tidak berlebih-lebihan atau tidak bersikap boros (Al-Furqan:67).

Oleh karena itu, pertemuan-pertemuan internasional seharusnya membahas mengenai standar hidup maksimal. Standar hidup maksimal meliputi gaya hidup, pemakaian rumah, penggunaan air, atau yang sejenisnya. Gaya hidup berlebihan seperti memiliki pakaian, sepatu, dan perhiasan yang jumlahnya sangat banyak padahal penggunaannya sangat jarang, perlu dibatasi.

Penggunaan pesawat jet pribadi yang hanya mengangkut 1 atau 2 orang artis, atau mobil yang hanya berpenumpang 1 atau 2 orang dapat menyebabkan pemborosan sumber energi. Pembangunan rumah yang memiliki kamar sangat banyak padahal hanya digunakan oleh beberapa orang juga perlu dibatasi. Penggunaan air dalam rumah tangga perlu diatur sesuai dengan kebutuhan dasar dan jumlah orang yang ada di rumah tersebut.

Rasulullah telah mengingatkan kita bahwa apa yang ada di dunia ini akan sirna dan apa yang kita berikan adalah kepunyaan kita sesungguhnya di akhirat. Karena itu, pemilikan atau penggunaan barang yang berlebihan sangat tidak dianjurkan dalam Islam. Islam menuntun agar setiap manusia lebih banyak memberi daripada memiliki.

Solusi permasalahan pemanasan global tidak hanya terkait dengan mengubah energi fosil menjadi energi biofuel atau energi alternatif lainnya. Menurut Alquran, semua tindakan berlebihan pada akhirnya akan merugikan manusia. Penggunaan sumber energi massal akan menyebabkan output dalam jumlah massal. Bahan apapun apabila dibuang dalam jumlah banyak dan dalam waktu yang cepat, pasti akan mempengaruhi keseimbangan lingkungan.

Oleh karena itu mengubah sumber energi dari energi fosil menjadi energi biofuel tidak menjamin lingkungan akan aman, sebab pembakaran biofuel pasti akan menghasilkan polutan dalam jumlah massal dan dalam waktu yang cepat. Penggunaan energi hendaknya bersumber dari energi yang paling mudah didapatkan, paling murah biayanya, dan paling mudah mengoperasikannya di suatu daerah.


Daftar Pustaka

Haneda, 2004. Hubungan efek Rumah Kaca Pemanasan Global & Perubahan Iklim. Online.(http://www.climatechange.menlh.go.id). Diakses pada tanggal 23 November 2009.

Hariansyah, Catur Aries, dan Sulistiono. 2008. Pemanasan Gobal Terkuak Kembali (Pdf File). Karya Ilmiah. Bandar Lampung: Universitas Lampung. Diakses pada tanggal 23 November 2009.

Ivie. 2008. Global Warming Tahun 2007, Tahun Terpanas Kedua di Bumi. Online. (http://langitselatan.com). Diakses pada tanggal 29 November 2009.

Kodra, A.H., Syaukani. 2004. Bumi Makin Panas, Banjir Makin Luas; Menyibak Tragedi Kehancuran Hutan. Bandung: Nusantara.

Lukas Adi Prasetya. 2009. 25 November. Kurangi Konsumsi Daging, Cegah Pemanasan Global; Cegah Pemanasan Global Bukan Sekedar Hemat Listrik dan BBM. Online (http://kompas.com). Diakses pada tanggal 29 November 2009.

Ptatomo, Lutfi. 2007. Hancurnya Bumi; Ujung Global Warming. Online (http://beritahabitat.net). Diakses pada tanggal 29 November 2009.

Ranger. 2009. Global Warming (Pemanasan Global). Online. (http://gumuxranger.web.id). Diakses pada tanggal 29 November 2009.

Razak, Abdul. 2008. Kajian Yuridis CarbonTrade dalam Penyelesaian Efek Rumah Kaca (Pdf File). Diakses pada tanggal 23 November 2009.

Soemarwoto, Idjah. 2001. Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Wedhaswary, dwi dan Rachmat Witoelar. 2009. 23 November. Emil Salim: Dengan atau Tanpa AS, Komitmen Iklim Jalan Terus. Online (http://kompas.com). Diakses pada tanggal 29 November 2009.

Wikipedia. 2007. Gas Rumah Kaca. Online. (http://www.id.wikipedia.org). Diakses pada tanggal 23 November 2009.